Nama : Aulia Arsytasari
NIM : F100180262 / E
Wayang Sebagai Budaya Indigeneous dari Tanah Jawa
dalam
Kaitannya dengan Pendidikan dan Dakwah Islam
Tradisi masyarakat
Jawa mulai mengalami perubahan ketika Islam memasuki pulau Jawa. Para pembawa
dan penyebar Islam mencari celah di antara kekuatan animisme dan dinamisme. Dalam proses Islamisasi orang-orang Jawa setidaknya
ditemui sebuah kesamaan warna yaitu mistisme, yang pada tatanan praktisnya
digunakan sebagai pola akulturasi dan toleransi dalam metode dakwah yang
dilakukan oleh Walisongo di bumi Jawa. Akar kata dari mistisisme adalah mistik.
Wayang adalah
salah satu jenis kebudayaan Jawa yang
telah ada dan dikenal oleh masyarakat Jawa sejak ±1500
tahun yang lalu. Wayang juga disebut sebagai sebuah
wiracarita yang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang berwatak
baik menghadapi dan menumpas tokoh yang berwatak jahat. Kenyataan bahwa wayang
yang telah melewati berbagai peristiwa sejarah, dari generasi ke generasi,
menunjukkan betapa budaya pewayangan telah melekat dan menjadi bagian hidup
bangsa Indonesia khususnya Jawa. Kebudayaan Hindu masuk ke
Jawa membawa pengaruh
pada pertunjukan bayang-bayang, yang kemudian
dikenal dengan pertunjukan
wayang.
Dalam penyebaran
agama Hindu di pulau
Jawa, para Brahmana
menggunakan kitab Mahabarata dan Ramayana selain kitab
Weda sehingga kedua
kitab ini dikenal
di masyarakat Jawa. Cerita
wayang semula menceritakan
petualangan dan kepahlawanan nenek moyang
kemudian beralih ke
cerita Mahabarata dan
Ramayana. Buku Mahabarata dan
Ramayana tersebut dikadikan pakem berbagai lakon wayang yang dipentaskan dalam
bentuk pertunjukan wayang kulit dan Wayang Wong (Wayang Orang). Berbagai cerita
carangan yang telah lama atau sering dipertunjukkan kemudian juga dianggap pula
sebagai pakem. Dibanding pertunjukan Wayang Wong, pertunjukan wayang kulit jauh
lebih populer dan lebih digemari masyarakat.
Wayang telah diakui UNESCO sebagai Masterpiece of
Oral and Intangible Heritage of Humanity (‘Karya-karya Agung Lisan dan Tak
Benda Warisan Manusia’). Tujuan peraturan itu adalah untuk (i) meningkatkan
kesadaran masyarakat dunia terhadap warisan budaya tak benda, (ii) mengevaluasi
dan mendaftar situs dan warisan budaya tak benda, (iii) membangkitkan semangat
pemerintah negara agar mengambil tindakan-tindakan hukum dan administrasi untuk
melestarikan warisan budaya tak benda, dan (iv) mengikutsertakan seniman
setempat dalam dokumentasi pelestarian dan pengembangan warisan budaya tak
benda (Wibisono, 2009). Wayang diakui sebagai karya agung karena wayang
memunyai nilai tinggi bagi peradapan umat manusia. Setelah diakui sebagai karya
agung, wayang harus dilestarikan eksistensinya, dan itu menjadi tugas seluruh
bangsa di dunia khususnya bangsa Indonesia yang memiliki budaya wayang
tersebut. Kita harus memercayai bahwa eksistensi bangsa Indonesia dewasa ini
tidak lepas dari nilai-nilai luhur tradisional yang memiliki sejarah yang amat
panjang.
Mengingat bahwa sejarah wayang telah sedemikian
panjang, tetapi hingga kini wayang dan pertunjukan wayang masih tetap menarik,
menimbulkan masalah yang menggelitik tentang daya penyebabnya. Wayang pasti
mengandung sesuatu yang luar biasa. Dilihat dari kandungan makna, cerita wayang
penuh ajaran moral yang tinggi. Dilihat dari segi teknik pertunjukan, cerita
wayang disusun menurut konvensi dramatik yang tidak pernah berubah.
Perubahanperubahan yang “kecil” memang terjadi tetapi hal itu hanya varian
saja, sedang perubahan “besar” yang benar-benar menyimpang dari pakem tidak
pernah terjadi (Amir, 1994:50). Dilihat dari segi manfaatnya bagi kita, wayang
pada hakikatnya merupakan simbol atau cermin dari kehidupan kita sendiri
sehingga menonton pertunjukan wayang tidak berbeda dengan melihar diri sendiri
lewat cermin. Cerita wayang sarat pesan, tetapi berhubung semuanya disampaikan
secara simbolistis penonton tidak merasa digurui.
Banyak
orang yang tidak pernah melihat buku cerita wayang, tetapi dapat mengakrabi
wayang secara total dan kental. Menonton pertunjukan wayang hampir dalam segala
hal lebih mengasyikkan daripada sekadar membaca buku cerita wayang. Kesemuanya
itu menunjukan kuatnya daya tarik pertunjukan wayang sehingga kehadirannya
sulit digantikan media lain. Cerita wayang banyak sekali, tetapi konvensi
dramatiknya sama dan tidak pernah berubah. Konvensi dramatik wayang terdiri
dari struktur cerita, tokoh dengan pola karakternya yang telah pasti, dan bahasa
yang dipakai (bahasa wayang).
Pertunjukan
wayang itu sendiri pada hakikatnya merupakan suatu lambang yang bersifat
religius-mistis, yaitu lambang kehidupan manusia dari lahir sampai mati
sebagaimana tercermin dalam struktur wayang. Bahkan, hampir semua aspek
pewayangan, seperti bentuk-bentuk fisik wayang dan berbagai peralatan yang
dipergunakan adalah berfungsi pelambangan (Mulyono, 1989; Amir, 1994).
Ketika
di hadapan kita tersaji berita carut-marutnya kehidupan berbangsa ini yang
tiada habis-habisnya, baik lewat pemberitaan televisi, internet, surat kabar,
maupun media massa yang lain, kita mungkin setuju bahwa keadaan itu semua lebih
disebabkan oleh kurang mengenanya pendidikan karakter anak bangsa. Lembaga
pendidikan yang seharusnya berada di ujung tombak selaku penjaga ketangguhan
karakter, bahkan tidak jarang menampilkan sosok yang lebih mencerminkan
kurangnya status berkarakter itu. Karakter bangsa
merupakan akumulasi dari karakter-karakter warga masyarakat bangsa itu.
Karakter merupakan nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi
antarmanusia, yang when character is lost then everything is lost. Secara
universal karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan pilar:
kedamaian (peace), menghargai (respect), kerjasama (cooperation), kebebasan
(freedom), kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty), kerendahhatian
(humility), kasih sayang (love), tanggung jawab (responsibility), kesederhanaan
(simplicity), toleransi (tolerance),dan persatuan (unity) (Gufron, 2010).
Nilai karakter apa yang terkandung
dalam karakter bangsa? Itu adalah nilai-nilai yang berkembang, berlaku, diakui,
diyakini, dan disepakati untuk dilaksanakan oleh setiap warga masyarakat di
sebuah negara. Nilai-nilai itu adalah nilai-nilai luhur (supreme values) yang
dijadikan pedoman hidup (guiding principles) yang digunakan untuk mencapai
derajat kemanusiaan yang lebih tinggi, bermartabat, demi kedamaian dan
kebahagiaan. Kemanusiaan yang dimaksud antara lain meliputi solidaritas sesama
manusia, menghormati hakikat dan martabat manusia, kesetaraan dan
tolong-menolong, menghormati perbedaan, dan menciptakan kedamaian. Budi pekerti
sebagai nilai luhur adalah perilaku yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang
diyakini dan diposisikan sebagai instrumen untuk mencapai sesuatu.
Pendidikan karakter dimaksudkan
sekaligus sebagai pembentukan karakter. Usaha pendidikan dan pembentukan
karakter yang dimaksud tidak terlepas dari pendidikan dan penanaman nilai-nilai
moral kepada peserta didik. Pendidikan karakter itu sendiri merupakan sebuah
proses panjang, yaitu proses pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai luhur,
budi pekerti, akhlak mulia yang berakar pada ajaran agama, adatistiadat dan
nilai-nilai keindonesiaan dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik
supaya menjadi manusia yang bermatabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter
sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Sardiman, 2009). Singkatnya, pendidikan karakter haruslah bermakna,
dalam arti memang dibutuhkan dalam tingkah laku hidup keseharian di mana pun
berada. Subjek didik berkembang dalam konteks keluarga, sekolah, dan masyarakat
(tiga pusat pendidikan): inilah konteks nyata pendidikan karakter bagi mereka.
Sejarah
membuktikan bahwa pengembangan karakter dan atau kebudayaan suatu bangsa tidak
pernah dapat melepaskan diri dari nilai-nilai tradisi yang telah mendasari dan
membesarkannya. Sejarah bangsa-bangsa di dunia menunjukkan bahwa bangsa yang
maju dan besar memiliki akar tradisi mitologi yang amat panjang. Di Indonesia,
khususnya Jawa, mitologi wayang merupakan tradisi dan budaya yang telah
mendasari dan berperan besar dalam membentuk karakter dan eksistensi bangsa
Indonesia. Hal itu disebabkan mitologi merupakan kristalisasi konsep-konsep,
nilai-nilai, dan norma-norma yang menjiwai sikap hidup masyarakat selama ini
dan menyebabkan komunikasi antaranggota masyarakat menjadi efisien.
Dewasa
ini terlihat makin intensif usaha pengenalan, pemopuleran, dan pelestarian
wayang lewat berbagai buku dan ensiklopedi yang muncul baik yang ditulis lewat
penelitian akademik maupun secara sastra. Untuk menyebut sebagian misalnya,
buku Rupa & Karakter Wayang Purwa (Heru S. Sudjarwo, Sumari, dan Undung
Wiyono, 2010), Ensiklopedi Tokoh-tokoh Wayang dan Silsilahnya (Mahendra
Sucipto, 2010), Semar, Dunia Batin Orang Jawa (Tuti Sumukti, 2006), Ensiklopedi
Wayang Purwa (Suwandono, Dhaniswara, dan Mujiyono, 1993), dan lainlain. Budaya,
bahasa, dan sastra daerah wajib dilindungi dan dipelihara kelangsungan hidupnya
tanpa mengurangi kesatuan kita sebagai sebuah bangsa sekaligus untuk
menyadarkan dari mana kita berasal. Nilai-nilai budaya, bahasa, dan sastra
daerah perlu dijadikan bahan kajian dan penelitian secara lebih intensif untuk
menggali potensi yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan budaya dan bangsa.
Dalam era global dewasa ini keunggulan lokal amat dibutuhkan karena hal itulah
yang membedakaannya dengan etnis dan bangsa lain.